Oleh: Ane Permatasari, SIP,
MA
Manusia di dalam
kehidupannya sangat mengandalkan air,
lahan, energi, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat untuk menjamin
kelangsungan penghidupan mereka dan asset alam sangat penting untuk keluar dari
kondisi pemiskinan. Banyak isu lingkungan yang tadinya berdiri sendiri
sebagai isu lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana, sekarang bergeser
menjadi isu pembangunan secara umum dan politik karena luasnya dampak yang ditimbulkan
semakin masif dan mempengasruhi hampir semua sektor kehidupan. Salah satu
kelompok penerima dampak terbesar, jika kita bicara tentang lingkungan dan
menurunnya fungsi layanan aset alam adalah perempuan. Perempuan dan
pembedaan peran perempuan dalam masyarakat di Indonesia membuat beban yang
lebih bagi perempuan. Perempuan sering mengalami ketidakadilan akibat pembedaan
gender tersebut.
Paradigma pembangunan
yang lebih berorientasi daratan dengan mengabaikan kekhasan Indonesia sebagai
negara kepulauan, juga semakin mengeksploitasi sumber daya laut dan pesisir
yang menggusur ribuan nelayan, terutama perempuan nelayan, dari ruang hidupnya.
Kehancuran sumber daya laut semakin diperparah dengan pencemaran limbah
industri dan kerusakan hutan mangrove, sehingga menjadi kelumrahan kemudian
juga angka pemiskinan begitu tinggi di wilayah pesisir Indonesia. Dalam kondisi seeprti ini seklipun, tampaknya
belum ada political will dari perintahj untuk membuat kebijakan publik yang
lebih berpihak kepada masyarakat pesisir.
Begitui banyak
permasalahan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan yang terjadi di Indonesia. Kelangkaan
air terus menerus menjadi krisis rutin di Indonesia, bencana kekeringan dan
tingkat pencemaran industri yang tinggi, mengakibatkan perempuan semakin sulit
untuk bisa mengakses air bersih dan menjaga ketahanan pangan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di kota, perempuan semakin ditekan dengan
menjamurnya budaya konsumtif yang didorong oleh industrialisasi pusat
perbelanjaan. Budaya ini kemudian menghasilkan timbunan sampah, pencemaran air
tanah dan menciutnya ruang terbuka publik. Ditambah lagi dengan ancamana
solusi teknologi yang justru berdampak buruk bagi kesehatan, seperti teknologi
incenerator.
Ironisnya,
ketika bencana ekologis terus menerus terjadi karena kesalahan pendekatan
pembangunan, pemerintah pun tidak mampu memberikan perlindungan yang layak
kepada jutaan perempuan yang tinggal di berbagai wilayah yang rentan terhadap
bencana. Pemerintah melakukan pengabaian hak rakyat, khususnya perempuan, dalam
pemenuhan hak-hak dasarnya pada pasca bencana terutama pada tahap tanggap
darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Bencana-bencana yang secara beruntun
melanda negeri ini, menjadi cermin tretak yang menggambarkan betapa lambannya
pemerintah menangani masalah tersebut. Pada kondisi ini, perempuanlah yang
paling dirugikan karena dalam bencana korban terbesar adalah perempuan dan
anak.
Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset alam belum
merefleksikan sisi pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser
kedaulatan perempuan dalam mengelola dan menentukan pangan telah membuat
pandangan perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami oleh
laki-laki, bahkan oleh perempuan sendiri. Perempuan juga masih ditinggalkan
dalam proses pengambilan kebijakan. Jika melihat bahwa persoalan lingkungan
hidup dan aset alam sebagai sebuah proses politik, perempuan banyak
ditinggalkan dalam proses pengambilan keputusan politik untuk dapat mengakses
sumber-sumber kehidupannya. Padahal, perempuan menjadi garda terdepan dalam
upaya pelestarian lingkungan hidup dimulai dari tingkatan keluarganya, hingga
mengambil peran penting dalam mengelola aset alam.
Fenomena isu gender yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia dilatarbelakangi oleh struktur dan budaya masyarakat yang membuat pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini perempuan menjadi termarginalkan. Persoalannya, pembedaan tersebut kemudian cenderung menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai korbannya. Beban laki-laki dalam ruang publik menjadi lebih besar sekaligus lebih berat, sementara potensi yang dimiliki perempuan tidak mampu berkembang karena perannya di ruang publik menjadi terbatas.
Fenomena isu gender yang muncul dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia dilatarbelakangi oleh struktur dan budaya masyarakat yang membuat pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan, yang dalam hal ini perempuan menjadi termarginalkan. Persoalannya, pembedaan tersebut kemudian cenderung menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai korbannya. Beban laki-laki dalam ruang publik menjadi lebih besar sekaligus lebih berat, sementara potensi yang dimiliki perempuan tidak mampu berkembang karena perannya di ruang publik menjadi terbatas.
Penulis adalah Dosen Jurusann Ilmu Pemerintahan
Fisipol UMY dan Anggota Majelis Lingkungan Hidup PP
Muhammadiyah, tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar