Firman Allah SWT

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu, kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (Q.S. Ar-Ruum/30: 41-42)


Kamis, 26 April 2012

AGAMA DAN PENYELAMATAN LINGKUNGAN


 Oleh: Miftahulhaq (Wakil Sekretaris MLH PP Muhammadiyah)

Pendahuluan
Data BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa 85 % lebih bencana yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2002 – 2011 adalah terkait bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang.  Berdasarkan jumlah kejadian terbanyak adalah banjir yaitu sebanyak 403 kali. Berbagai kerusakan alam ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya perubahan iklim global, degradasi lingkungan, kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk. Berbagai bencana itu pun telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar.

Apabila dikaji lebih mendalam, terjadinya berbagai kerusakan lingkungan merupakan akumulasi atau tali temali dari faktor-faktor structural, institusional, dan cultural secara bervariasi. Pada tingkat structural yang paling menonjol adalah strategi pembangunan dan industrialisasi yang eksploitatif, tidak mengindahkan keselarasan bahkan menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan social yang menyengsarakan masyarakat lemah. Pada tingkat insitutusional kerusakan lingkungan dikarenakan berbagai perangkat kelembagaan yang rentan lemah, tidak terkoordinasi dan cenderung korup. Sedangkan dalam tingkat cultural terjadinya kerusakan lingkungkan dikarenakan rendahnya kesadaran dan perilaku ramah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh menjamurnya budaya pragmatis dan hedonis dalam kehidupan masyarakat.  
Dalam konteks agama Islam, berbagai kerusakan yang terjadi di darat maupun di laut sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam (Q.S. Ar-Ruum: 41). Perilaku ini bertentangan dengan tugas dan fungsi manusia sebagai hamba Allah (abdullah) dan khalifatullah fil ardl, yang berkewajiban untuk melakukan proses pengelolaan dan pemeliharan alam dan lingkungan sebagai media untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan fungsi kekhalifahan. Manusia dilarang berbuat kerusakan sedikit pun di muka bumi setelah Allah memperbaikinya (Q.S. Al-A’raf: 56).

Hubungan Manusia dan Alam
Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam keseimbangan, proporsional dan terukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:Ar-Ra’d: 8; Al-Qomar : 49 dan Al-Hijr:19). Bumi sebagai tempat tinggal manusia terdiri atas berbagai unsur dan elemen dengan keragaman dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi, sekaligus merupakan bukti ke Mahakuasaan dan Kemahabesaran Sang Pencipta dan Pemelihara alam (QS: Ta-Ha; 53-54). Dialah yang menentukan dan mentaqdirkan segala sesuatu di alam semesta. Tidak ada sesuatu di alam ini kecuali mereka tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum dan qadar Tuhan serta berserah diri dan memujiNya (QS:An-Nur:41). 
Alam merupakan sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan realitas yang lain Yang Ghaib dan supra-empirik. Alam merupakan representasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Benar, sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidak sengajaan (kebetulan atau main-main), akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu (Q.S. Ali Imran: 191-192). Menurut pandangan Islam, alam mempunyai eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku tetap (qadar) bagi alam, yang disebut sebagai hukum Allah (sunnatullah). Sunnatullah ini tidak hanya berlaku bagi benda-benda alam, akan tetapi juga bagi tumbuhan, hewan dan manusia. Alam (lingkungan hidup) juga bersifat menyatu (holistik) yang komponennya adalah Sang Pencipta, alam dan makhluk hidup (termasuk manusia). Masing-masing komponen mempunyai peran dan kedudukan yang berbeda-beda akan tetapi tetap berada dalam koridor rancangan Allah (sunantullah).
             Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling membutuhkan, saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya dengan peran yang berbeda-beda. Hubungan manusia–alam ini adalah bentuk hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia adalah penguasa alam). Sementara itu alam berhubungan pula dengan Tuhan yang menciptakannya dan mengaturnya. Alam pun sesungguhnya tunduk terhadap ketentuan dan hukum-hukum Allah. Adapun manusia mempunyai peran dan posisi khusus dibanding komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain, yakni sebagai khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi (QS: Al-An’am: 165). Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan hidupnya ini ditegaskan dalam beberapa ayat al Qur’an yang lain dan Hadist Nabi, yang  intinya adalah sebagai berikut :
·           Hubungan keimanan dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan, karena alam semesta adalah tanda atau ayat-ayat Allah. Manusia dilarang memperhamba alam dan dilarang menyembah kecuali hanya kepada Allah yang Menciptakan alam.
·           Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumberdayanya diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna menunjang kehidupannya ini harus dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan atau boros). Demikian pula tidak diperkenankan pemanfaatan sumberdaya alam yang hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan penyalahgunaan pemanfaatan dan atau perubahan alam dan sumberdaya alam  untuk kepentingan tertentu sehingga hak pemanfaatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
·           Hubungan pemeliharaan untuk semua makhluk. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia saja akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan dan mengabaikan asas pemeliharaan dan konservasi sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan dan konservasi alam dengan baik, maka baginya tersedia balasan ganjaran dari Allh swt.

Pandangan Islam tentang Lingkungan
            Islam merupakan agama yang lengkap, serba cakup, termasuk yang berkaitan dengan lingkungan. Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan lingkungan (eco-friendly) dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Banyak ayat al-Qur’an dan teks al-Hadist yang menjelaskan, menganjurkan bahkan mewajibkan manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya dan kehidupan makhluk lain di bumi, walaupun dalam situasi yang sudah kritis. Ayat yang berkaitan dengan alam dan lingkungan (fisik dan sosial) ini dalam alQur’an bahkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan ibadah khusus (mahdhoh). 
Islam adalah  sebuah jalan hidup yang merupakan konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (nilai normatif) atau ajaran Islam yakni tauhid, khilafah, amanah, halal dan haram. Berdasarkan atas pengertian ini maka ajaran (konsep) atau pandangan  Islam tentang lingkunganpun pada dasarnya dibangun atas dasar  5 (lima) pilar syariah tersebut yakni : 1) tauhid, 2) khilafah, 3) amanah, 4) keseimbangan (i’tidal) dan 5) istishlah. Untuk menjaga agar manusia bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2) haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah “bangunan“ untuk menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam. Berikut ini akan di urai  makna keempat pilar dan dua rambu tersebut serta saling keterkaitannya satu dengan lainnya dalam konteks lingkungan (environment).  

1.        Tauhid
Nilai tauhid ini tidaklah hanya sebatas keimanan dalam hati semata. Nilai tauhid bagi umat muslim harus menjadi spirit bagi setiap tindakan atau perilakunya, baik yang berhubungan dengan orang lain, makhluk lain atau lingkungan hidupnya. Hal ini mengandung makna bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan sekaligus sebagai hamba Tuhan (‘abdul Allah) harus senantiasa tunduk dan patuh kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah. Manusia bertanggungjawab kepada-Nya atas semua tindakan yang dilakukannya. Hal ini juga menyiratkan bahwa tauhid merupakan satu-satunya sumber nilai dalam etika. Pelanggararan atau penyangkalan terhadap nilai ketauhidan ini berarti syirk yang merupakan perbuatan dosa terbesar dalam Islam. Oleh karena itu tauhid merupakan landasan dan acuan bagi setiap perbuatan manusia, baik perbuatan lahir maupun perbuatan batin termasuk berfikir.  Bagi seorang muslim mukmin, tauhid harus masuk menembus kedalam seluruh aspek kehidupannya dan menjadi pandangan hidupnya. Dengan kata lain, tauhid merupakan sumber etika pribadi dan kelompok (masyarakat), etika sosial, ekonomi, dan  politik, termasuk etika dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, pengembangan sain dan teknologi.

2.        Khilafah (perwalian)
Bermula dari landasan yang pertama yakni tauhid, Islam mempunyai ajaran atau  konsep yang bernama khilafah dan amanah. Konsep khilafah ini dibangun atas dasar pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi khalifah (wakil atau wali) Allah di muka bumi (QS:Al-Baqarah: 30,  Al-Isra : 70, Al-An’am: 165 dan Yunus: 14). Sebagai wakil Allah, manusia wajib (secara aktif) untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Sebagai wakil (khalifah) Allah, manusia harus aktif dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk manusia, sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.
Khilafah bisa juga bermakna kepemimpinan. Manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi ini yang telah ditunjuk menjadi pemimpin bagi semua makhluk Tuhan  yang lain (alam semesta termasuk bumi dan seisinya (atmosfer, dan sumberdaya alam yang dikandungnya termasuk tumbuhan dan hewan ). Makna ini mengandung konsekuensi bahwa manusia harus bisa mewakili Tuhan untuk memimpin dan memelihara keberlangsungan kehidupan semua makhluk. Untuk menjalankan misi khilafah ini manusia telah dianugerahi oleh Tuhan kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain, yakni kesempurnaan ciptaan dan akal budi yang tidak diberikan oleh Tuhan kepada makhluk lainnya.
Sebagai pemimpin, manusia harus bisa memelihara dan mengatur keberlangsungan fungsi dan kehidupan semua makhluk, sekaligus mengambil keputusan yang benar pada saat terjadi konflik kepentingan dalam penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya alam. Pengambilan keputusan ini harus dilakukan secara adil, bukan dengan cara memihak kepada individu atau kelompok makhluk tertentu. Manusia harus bisa menegakkan amanah dan keadilan ditengah-tengah lingkungan alamnya di muka bumi ini, termasuk dalam lingkungan sosialnya. Penyelewengan terhadap amanah ini dengan demikian berarti juga melanggar asas  ketauhidan yang berarti merupakan perbuatan syirk dan dzalim.
Khalifah adalah juga amanah yang telah diberikan oleh Tuhan yang menciptakan manusia kepada manusia karena dipandang mampu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dimuka bumi. Oleh karena itulah maka pemahaman makna khilafah dan peran manusia sebagai khalifah di alam khususnya di muka bumi ini menjadi sangat penting karena akan menentukan keberhasilan atau kegagalan manusia dalam mengemban amanah yang telah diberikan Tuhan sekaligus yang telah disanggupinya. Tindakan-tindakan manusia yang berakibat terjadinya kerusakan di muka bumi sebagaimana di muka telah ditegaskan, merupakan pelanggaran atau penginkaran terhadap amanah yang berarti juga merupakan perbuatan dosa besar.
           

3.        Amanah

Bumi sebagai bagian dari alam semesta merupakan amanah dari Allah swt Sang Pencipta. Untuk menjaga keberlangsungan dan memenuhi hajat hidupnya, manusia mempunyai hak untuk memanfaatkan apa-apa yang ada di muka bumi (sumberdaya alam) bumi. Akan tetapi manusia baik secara individu maupun kelompok  tidak mempunyai hak mutlak untuk menguasai sumberdaya alam yang bersangkutan. Hak penguasaannya tetap ada pada Tuhan Pencipta. Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah diberikan oleh Allah tersebut. Dalam konteks ini maka alam terutama bumi tempat tinggal manusia merupakan arena atau ajang uji bagi manusia. Agar manusia bisa berhasil baik dalam ujiannya, maka ia harus bisa membaca “tanda-tanda” atau “ayat-ayat” alam yang ditunjukkan oleh sang Maha Pengatur Alam. 

4.        Keseimbangan (i’tidal )
Alam diciptakan Allah dalam keberagaman kualitatif maupun kuantitatif seperti ukuran, jumlah, struktur, peran, umur, jenis kelamin, masa edar dan radius edarnya. Walaupun demikian, alam dan ekosistem ciptaan Tuhan yang sangat beragam ini berada dalam keseimbangan, baik keseimbangan antar individu maupun antar kelompok (QS: Al-Mulk: 67). Keseimbangan ini merupakan hukum Tuhan yang juga berlaku atas alam termasuk manusia. Keseimbangan ini bisa mengalami gangguan (disharmoni) jika salah satu atau banyak anggota kelompok atau suatu kelompok mengalami gangguan baik secara alamiah (karena sebab-sebab yang alamiah) maupun akibat campur tangan manusia. Jika terjadi gangguan terhadap keseimbangan alam, maka alam akan bereaksi atau merespon dengan membentuk keseimbangan baru yang bisa terjadi dalam waktu singkat, atau bisa pula dalam waktu yang cukup lama tergantung pada intensitas gangguan serta sifat kelentingan masing-masing sistem alam yang bersangkutan. Keseimbangan baru yang terbentuk ini sudah barang tentu bisa berbeda secara kuantitatif maupun kualitatif dengan keseimbangan sebelumnya. Demikian pula keseimbangan baru ini bisa bersifat merugikan, bisa pula menguntungkan bagi anggota komunitas atau kelompok yang bersangkutan. Perilaku dan perbuatan manusia terhadap alam termasuk antar manusia yang diharamkan (dilarang), sebenarnya bertujuan agar keseimbangan atau harmoni alam tidak mengalami gangguan. Larangan untuk tidak bertengkar, berkata kotor, berbohong, berburu, melukai atau membunuh hewan dan tanaman pada waktu ihram bagi orang yang sedang berhaji atau umrah, sebenarnya mengandung pesan bahwa keseimbangan lingkungan dan harmoni kehidupan tidak boleh diganggu dengan perbuatan-perbuatan yang merusak (haram).

5.        Kemashlahatan (istishlah)
Kemashlahatan merupakan salah satu pilar utama dalam syariah Islam termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Bahkan secara tegas Tuhan melarang manusia untuk melakukan perbuatan yang bersifat merusak lingkungan termasuk merusak kehidupan manusia itu sendiri, setelah Tuhan melakukan perbaikan (ishlah). Istishlah ini bahkan tidak hanya sepanjang umur dunia akan tetapi sampai ke kehidupan akherat (QS: Al- A’raf: 56).  Tujuan tertinggi dari perlindungan alam dan ekosistem ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan (istishlah) universal baik dalam kehidupan masa kini (di dunia) maupun kehidupan dimasa depan (di akhirat). Istishlah juga bisa bermakna pemeliharaan terhadap alam termasuk kepada kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan di bumi. Hewan dan tumbuhan diciptakan Tuhan memang diperuntukkan bagi manusia untuk menunjang kehidupannya, dan bukan untuk dirusak. Dengan kata lain pemanfaatan alam termasuk hewan dan manusia adalah pemanfaatan yang berkelanjutan.

6.        Halal dan haram
Keberlanjutan peran dan fungsi alam serta harmoni kehidupan di alam ini (khususnya bumi sebagai planet yang dihuni manusia) oleh Islam dijaga oleh dua instrumen yang berperan sebagai rambu bagi manusia, yakni halal dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, berakibat baik, menguntungkan, dan menenteramkan hati. Segala sesuatu yang menguntungkan atau berakibat baik bagi seseorang, masyarakat dan lingkungan alamnya serta lingkungan sosialnya adalah halal. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak  seseorang, masyarakat dan lingkungan alam dan sosialnya adalah haram. Segala yang membahayakan dan merusak fisik (tubuh) dan jiwa (rohani) manusia, serta alam lingkungannya adalah haram.
Konsep halal dan haram ini sebenarnya tidak hanya diberlakukan bagi manusia, akan tetapi juga berlaku bagi alam. Pelanggaran terhadap rambu-rambu ini akan mengakibatkan terjadi ketidak seimbangan atau disharmoni baik dalam kehidupan manusia maupun gangguan keseimbangan ekologis di alam.

Muhammadiyah dan Gerakan Lingkungan
Upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa hanya dilakukan melalui kegiatan teknis-akademis. Persoalan lingkungan merupakan hak asasi manusia, sehingga pendekatan yang harus dikembangkan dalam penyelesaiannya pun harus berdasar berbagai multi aspek, termasuk pendekatan pendidikan dan keagamaan. Muhammadiyah memandang diperlukannya langkah terpadu berbasis masyarakat untuk melakukan aksi bersama (interfaith action) antar berbagai komponen masyarakat, terutama komunitas beragama, sehingga terjadi sinergi antara kelompok masyarakat, pemerintah, dan kelompok bisnis.
Bagi  Muhammadiyah, keterlibatan diri dalam gerakan penyelamatan lingkungan merupakan hal niscaya yang harus terus digerakkan. Hal ini sebagai wujud tanggung jawab selaku khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30), gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, dan bagian dari upaya memakmurkan bumi dan alam semesta (Q.S. Hud: 61).
Sejak tahun 2003, Muhammadiyah telah menjadikan program lingkungan sebagai bagian tidak terpisahkan dari program organisasi. Pada tahun ini Muhammadiyah membentuk Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup. Keberadaan lembaga ini difokuskan pada upaya mengidentifikasi dan membangun pijakn dasar mengenai corak dan pilihan kegiatan gerakan lingkungan yang akan dibangun oleh Muhammadiyah.
Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang PP Muhammadiyah membentuk Lembaga Lingkungan Hidup (LLH). Periode berhasil dirumuskan beberapa hal elementer terkait pilihan gerakan lingkungan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, yaitu terkait konsep Teologi Lingkungan dan Pendidikan Lingkungan. Pilihan ini didasarkan pada pemikiran bahwa perubahan mindset dan perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan merupakan hal mendasar yang harus dilakukan agar proses gerakan dan budaya ramah lingkungan dalam kehidupan masyarakat dapat terwujud. Selain itu, periode ini berhasil melakukan komunikasi lembaga dengan berbagai komponen penggerak lingkungan, baik nasional maupun internasional.
Kemudian pasca Muktamar Muhammadiyah ke-46 (1 Abad) PP Muhammadiyah mengembangkan Lembaga Lingkungan Hidup (LLH) menjadi Majelis Lingkungan Hidup (MLH). Perubahan ini memiliki tanggung jawab agar Majelis dapat mempercepat transformasi gerakan lingkungan di dalam tubuh Muhammadiyah. Gerakan lingkungan Muhammadiyah bukanlah sebatas mengikuti trend global, tetapi harus menjadi trendsetter sesuai prinsip gerakan Muhammadiyah yang mengembangkan Islam yang berkemajuan.
Dakwah dalam bidang lingkungan sesungguhnya bagian dari pengembangan dari pemahaman Muhammadiyah terhadap Teologi Al-Ma’un. Kepedulian dan pengejawantahan nilai-nilai Islam Muhammadiyah saat ini tidak terbatas pada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk lain dan lingkungannya (alam semesta). Keterpanggilan Muhammadiyah terhadap gerakan lingkungan juga merupakan panggilan tauhid yang menjadi elan vital gerakan Muhammadiyah.
Gerakan lingkungan Muhammadiyah tidaklah sebatas pada kegiatan teknis penyelamatan lingkungan atau ekonomi, tetapi jauh dari itu adalah bagaimana merubah cara berfikir dan alam fikir masyarakat terhadap lingkungannya. Gerakan lingkungan Muhammadiyah harus didasarkan pada kesadaran penghambaan diri kepada Allah (ibadah) dan pemenuhan tugas dan fungsi sebagai khalifah Allah SWT. Karena bagaimana pun Muhammadiyah ingin mengajak umatnya untuk beragama secara cerdas dan jauh dari kejumudan.

Penutup
            Agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Kegiatan penyelamatan lingkungan merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran agama. Penyelamatan lingkungan merupakan bagian dari kegiatan penghambaan diri (ibadah) dan pemenuhan tugas sebagai khalifatullah fil ardl. Setiap manusia harus aktif dalam kegiatan penyelamatan lingkungan sebagai bagian dari keterpanggilan dakwah dan penegakan nilai-nilai ajaran Islam. Wallahu A’lam. Sejuk Bumiku – Nyaman Hidupku – Aman dan Tentram Masa Depan Anak Cucuku.


Yogyakarta, 8 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar