Oleh: Miftahulhaq (Wakil Sekretaris MLH PP Muhammadiyah)
Pendahuluan
Data BNPB tahun 2011 menunjukkan bahwa 85 % lebih bencana
yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2002 – 2011 adalah terkait
bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, tanah
longsor, puting beliung dan gelombang pasang.
Berdasarkan jumlah kejadian terbanyak adalah banjir yaitu sebanyak 403
kali. Berbagai kerusakan alam ini disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya
perubahan iklim global, degradasi lingkungan, kemiskinan, dan bertambahnya
jumlah penduduk. Berbagai bencana itu pun telah menimbulkan korban jiwa dan
kerugian yang besar.
Apabila dikaji lebih mendalam, terjadinya berbagai kerusakan
lingkungan merupakan akumulasi atau tali temali dari faktor-faktor structural,
institusional, dan cultural secara bervariasi. Pada tingkat structural yang
paling menonjol adalah strategi pembangunan dan industrialisasi yang
eksploitatif, tidak mengindahkan keselarasan bahkan menimbulkan kerusakan alam
dan kesenjangan social yang menyengsarakan masyarakat lemah. Pada tingkat
insitutusional kerusakan lingkungan dikarenakan berbagai perangkat kelembagaan
yang rentan lemah, tidak terkoordinasi dan cenderung korup. Sedangkan dalam
tingkat cultural terjadinya kerusakan lingkungkan dikarenakan rendahnya
kesadaran dan perilaku ramah lingkungan. Hal ini disebabkan oleh menjamurnya
budaya pragmatis dan hedonis dalam kehidupan masyarakat.
Dalam konteks agama Islam, berbagai kerusakan yang terjadi di
darat maupun di laut sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari cara pandang dan
perilaku manusia terhadap alam (Q.S. Ar-Ruum: 41). Perilaku ini bertentangan
dengan tugas dan fungsi manusia sebagai hamba Allah (abdullah) dan khalifatullah
fil ardl, yang berkewajiban untuk melakukan proses pengelolaan dan
pemeliharan alam dan lingkungan sebagai media untuk beribadah kepada Allah dan
menjalankan fungsi kekhalifahan. Manusia dilarang berbuat kerusakan sedikit pun
di muka bumi setelah Allah memperbaikinya (Q.S. Al-A’raf: 56).
Hubungan Manusia dan Alam
Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan
diciptakan dalam keseimbangan, proporsional dan terukur, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif (QS:Ar-Ra’d: 8; Al-Qomar : 49 dan Al-Hijr:19). Bumi sebagai
tempat tinggal manusia terdiri atas berbagai unsur dan elemen dengan keragaman
dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk
alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam
menjalankan kehidupannya di muka bumi, sekaligus merupakan bukti ke Mahakuasaan
dan Kemahabesaran Sang Pencipta dan Pemelihara alam (QS: Ta-Ha; 53-54). Dialah
yang menentukan dan mentaqdirkan segala sesuatu di alam semesta. Tidak ada
sesuatu di alam ini kecuali mereka tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum
dan qadar Tuhan serta berserah diri dan memujiNya (QS:An-Nur:41).
Alam merupakan sebuah entitas yang tidak berdiri sendiri, akan
tetapi berhubungan dengan manusia dan realitas yang lain Yang Ghaib dan
supra-empirik. Alam merupakan representasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan
Yang Maha Benar, sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak
diciptakan dengan ketidak sengajaan (kebetulan atau main-main), akan tetapi dengan nilai dan tujuan
tertentu (Q.S. Ali Imran: 191-192). Menurut pandangan Islam, alam mempunyai
eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku
tetap (qadar) bagi alam, yang disebut
sebagai hukum Allah (sunnatullah). Sunnatullah
ini tidak hanya berlaku bagi benda-benda alam, akan tetapi juga bagi tumbuhan,
hewan dan manusia. Alam (lingkungan hidup) juga bersifat menyatu (holistik)
yang komponennya adalah Sang Pencipta, alam dan makhluk hidup (termasuk
manusia). Masing-masing komponen mempunyai peran dan kedudukan yang
berbeda-beda akan tetapi tetap berada dalam koridor rancangan Allah (sunantullah).
Manusia merupakan bagian tak
terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam
adalah saling membutuhkan, saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya
dengan peran yang berbeda-beda. Hubungan manusia–alam ini adalah bentuk
hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia adalah
penguasa alam). Sementara itu alam berhubungan pula dengan Tuhan yang
menciptakannya dan mengaturnya. Alam pun sesungguhnya tunduk terhadap ketentuan
dan hukum-hukum Allah. Adapun manusia mempunyai peran dan posisi khusus
dibanding komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain, yakni sebagai
khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi (QS: Al-An’am: 165). Hubungan antara
manusia dengan alam lingkungan hidupnya ini ditegaskan dalam beberapa ayat al
Qur’an yang lain dan Hadist Nabi, yang
intinya adalah sebagai berikut :
·
Hubungan keimanan
dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk
mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan, karena alam semesta adalah tanda atau
ayat-ayat Allah. Manusia dilarang memperhamba alam dan dilarang menyembah
kecuali hanya kepada Allah yang Menciptakan alam.
·
Hubungan pemanfaatan
yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumberdayanya diciptakan Tuhan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna
menunjang kehidupannya ini harus dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan
atau boros). Demikian pula tidak diperkenankan pemanfaatan sumberdaya alam yang
hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini sementara hak-hak
pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan
penyalahgunaan pemanfaatan dan atau perubahan alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu sehingga hak
pemanfaatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
·
Hubungan pemeliharaan
untuk semua makhluk. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara alam untuk
keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia saja akan tetapi bagi semua
makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam
secara berlebihan dan mengabaikan asas pemeliharaan dan konservasi sehingga
mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan
perbuatan yang dilarang (haram) dan
akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran
pemeliharaan dan konservasi alam dengan baik, maka baginya tersedia balasan
ganjaran dari Allh swt.
Pandangan Islam tentang Lingkungan
Islam
merupakan agama yang lengkap, serba cakup, termasuk yang berkaitan dengan
lingkungan. Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan lingkungan
(eco-friendly) dan keberlanjutan
kehidupan di dunia. Banyak ayat al-Qur’an dan teks al-Hadist yang menjelaskan,
menganjurkan bahkan mewajibkan manusia untuk menjaga kelangsungan kehidupannya
dan kehidupan makhluk lain di bumi, walaupun dalam situasi yang sudah kritis.
Ayat yang berkaitan dengan alam dan lingkungan (fisik dan sosial) ini dalam
alQur’an bahkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang berkaitan
dengan ibadah khusus (mahdhoh).
Islam adalah sebuah jalan hidup yang merupakan konsekuensi
dari pernyataan atau persaksian (syahadah)
tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai
untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (nilai normatif) atau ajaran
Islam yakni tauhid, khilafah, amanah, halal dan haram. Berdasarkan atas pengertian ini maka ajaran
(konsep) atau pandangan
Islam tentang lingkunganpun pada dasarnya dibangun atas dasar 5 (lima) pilar syariah tersebut yakni : 1) tauhid,
2) khilafah, 3) amanah, 4) keseimbangan (i’tidal) dan 5) istishlah.
Untuk menjaga agar manusia bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya maka (pada
tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama
yakni : 1) halal dan 2)
haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai
sebuah “bangunan“ untuk menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam
perspektif Islam. Berikut ini akan di urai
makna keempat pilar dan dua rambu tersebut serta saling keterkaitannya
satu dengan lainnya dalam konteks lingkungan (environment).
1.
Tauhid
Nilai tauhid ini tidaklah hanya sebatas keimanan dalam hati
semata. Nilai tauhid bagi umat muslim harus menjadi spirit bagi setiap tindakan
atau perilakunya, baik yang berhubungan dengan orang lain, makhluk lain atau
lingkungan hidupnya. Hal ini mengandung makna bahwa manusia sebagai makhluk
Tuhan sekaligus sebagai hamba Tuhan (‘abdul Allah) harus senantiasa
tunduk dan patuh kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah. Manusia
bertanggungjawab kepada-Nya atas semua tindakan yang dilakukannya. Hal ini juga
menyiratkan bahwa tauhid merupakan satu-satunya sumber nilai
dalam etika. Pelanggararan atau penyangkalan terhadap nilai ketauhidan ini
berarti syirk yang merupakan perbuatan dosa terbesar dalam Islam. Oleh
karena itu tauhid merupakan landasan dan acuan bagi setiap perbuatan
manusia, baik perbuatan lahir maupun perbuatan batin termasuk berfikir. Bagi seorang muslim mukmin, tauhid
harus masuk menembus kedalam seluruh aspek kehidupannya dan menjadi pandangan
hidupnya. Dengan kata lain, tauhid merupakan sumber etika pribadi dan kelompok (masyarakat), etika sosial, ekonomi,
dan politik, termasuk etika dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan, pengembangan sain
dan teknologi.
2.
Khilafah (perwalian)
Bermula dari landasan yang pertama yakni tauhid, Islam
mempunyai ajaran atau konsep yang
bernama khilafah dan amanah. Konsep khilafah ini dibangun atas
dasar pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi khalifah (wakil atau
wali) Allah di muka bumi (QS:Al-Baqarah: 30,
Al-Isra : 70, Al-An’am: 165 dan Yunus: 14). Sebagai wakil Allah, manusia
wajib (secara aktif) untuk bisa merepresentasikan dirinya sesuai dengan
sifat-sifat Allah. Sebagai wakil (khalifah) Allah, manusia harus aktif
dan bertanggung jawab untuk menjaga bumi. Menjaga bumi berarti menjaga
keberlangsungan fungsi bumi sebagai tempat kehidupan makhluk Allah termasuk
manusia, sekaligus menjaga keberlanjutan kehidupannya.
Khilafah bisa juga bermakna kepemimpinan. Manusia adalah
wakil Tuhan di muka bumi ini yang telah ditunjuk menjadi pemimpin bagi semua
makhluk Tuhan yang lain (alam semesta
termasuk bumi dan seisinya (atmosfer, dan sumberdaya alam yang dikandungnya
termasuk tumbuhan dan hewan ). Makna ini mengandung konsekuensi bahwa manusia
harus bisa mewakili Tuhan untuk memimpin dan memelihara keberlangsungan
kehidupan semua makhluk. Untuk menjalankan misi khilafah ini manusia telah
dianugerahi oleh Tuhan kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain, yakni
kesempurnaan ciptaan dan akal budi yang tidak diberikan oleh Tuhan kepada
makhluk lainnya.
Sebagai pemimpin, manusia harus bisa memelihara dan mengatur
keberlangsungan fungsi dan kehidupan semua makhluk, sekaligus mengambil
keputusan yang benar pada saat terjadi konflik kepentingan dalam penggunaan
atau pemanfaatan sumberdaya alam. Pengambilan keputusan ini harus dilakukan
secara adil, bukan dengan cara memihak kepada individu atau kelompok makhluk
tertentu. Manusia harus bisa menegakkan amanah dan keadilan ditengah-tengah
lingkungan alamnya di muka bumi ini, termasuk dalam lingkungan sosialnya.
Penyelewengan terhadap amanah ini dengan demikian berarti juga melanggar
asas ketauhidan yang berarti merupakan
perbuatan syirk dan dzalim.
Khalifah adalah juga amanah yang telah diberikan oleh Tuhan
yang menciptakan manusia kepada manusia karena dipandang mampu untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan dimuka bumi. Oleh karena itulah maka pemahaman makna
khilafah dan peran manusia sebagai khalifah di alam khususnya di muka bumi ini
menjadi sangat penting karena akan menentukan keberhasilan atau kegagalan
manusia dalam mengemban amanah yang telah diberikan Tuhan sekaligus yang telah
disanggupinya. Tindakan-tindakan manusia yang berakibat terjadinya kerusakan di
muka bumi sebagaimana di muka telah ditegaskan, merupakan pelanggaran atau
penginkaran terhadap amanah yang berarti juga merupakan perbuatan dosa besar.
3. Amanah
Bumi sebagai bagian dari alam semesta merupakan amanah
dari Allah swt Sang Pencipta. Untuk menjaga keberlangsungan dan memenuhi hajat
hidupnya, manusia mempunyai hak untuk memanfaatkan apa-apa yang ada di muka
bumi (sumberdaya alam) bumi. Akan tetapi manusia baik secara individu maupun
kelompok tidak mempunyai hak mutlak untuk
menguasai sumberdaya alam yang bersangkutan. Hak penguasaannya tetap ada pada
Tuhan Pencipta. Manusia wajib menjaga kepercayaan atau amanah yang telah
diberikan oleh Allah tersebut. Dalam konteks ini maka alam terutama bumi tempat
tinggal manusia merupakan arena atau ajang uji bagi manusia. Agar manusia bisa
berhasil baik dalam ujiannya, maka ia harus bisa membaca “tanda-tanda” atau
“ayat-ayat” alam yang ditunjukkan oleh sang Maha Pengatur Alam.
4.
Keseimbangan (i’tidal )
Alam diciptakan Allah dalam keberagaman kualitatif maupun
kuantitatif seperti ukuran, jumlah, struktur, peran, umur, jenis kelamin, masa
edar dan radius edarnya. Walaupun demikian, alam dan ekosistem ciptaan Tuhan
yang sangat beragam ini berada dalam keseimbangan, baik keseimbangan antar
individu maupun antar kelompok (QS: Al-Mulk: 67). Keseimbangan ini merupakan
hukum Tuhan yang juga berlaku atas alam termasuk manusia. Keseimbangan ini bisa
mengalami gangguan (disharmoni) jika salah satu atau banyak anggota kelompok
atau suatu kelompok mengalami gangguan baik secara alamiah (karena sebab-sebab
yang alamiah) maupun akibat campur tangan manusia. Jika terjadi gangguan
terhadap keseimbangan alam, maka alam akan bereaksi atau merespon dengan
membentuk keseimbangan baru yang bisa terjadi dalam waktu singkat, atau bisa
pula dalam waktu yang cukup lama tergantung pada intensitas gangguan serta
sifat kelentingan masing-masing sistem alam yang bersangkutan. Keseimbangan
baru yang terbentuk ini sudah barang tentu bisa berbeda secara kuantitatif
maupun kualitatif dengan keseimbangan sebelumnya. Demikian pula keseimbangan
baru ini bisa bersifat merugikan, bisa pula menguntungkan bagi anggota
komunitas atau kelompok yang bersangkutan. Perilaku dan perbuatan manusia
terhadap alam termasuk antar manusia yang diharamkan (dilarang), sebenarnya
bertujuan agar keseimbangan atau harmoni alam tidak mengalami gangguan.
Larangan untuk tidak bertengkar, berkata kotor, berbohong, berburu, melukai
atau membunuh hewan dan tanaman pada waktu ihram bagi orang yang sedang berhaji
atau umrah, sebenarnya mengandung pesan bahwa keseimbangan lingkungan dan
harmoni kehidupan tidak boleh diganggu dengan perbuatan-perbuatan yang merusak
(haram).
5.
Kemashlahatan (istishlah)
Kemashlahatan merupakan salah satu pilar utama dalam syariah
Islam termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Bahkan secara tegas Tuhan melarang
manusia untuk melakukan perbuatan yang bersifat merusak lingkungan termasuk
merusak kehidupan manusia itu sendiri, setelah Tuhan melakukan perbaikan
(ishlah). Istishlah ini bahkan tidak
hanya sepanjang umur dunia akan tetapi sampai ke kehidupan akherat (QS: Al-
A’raf: 56). Tujuan tertinggi dari perlindungan
alam dan ekosistem ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan (istishlah)
universal baik dalam kehidupan masa kini (di dunia) maupun kehidupan dimasa
depan (di akhirat). Istishlah juga
bisa bermakna pemeliharaan terhadap alam termasuk kepada kehidupan manusia,
hewan dan tumbuhan di bumi. Hewan dan tumbuhan diciptakan Tuhan memang
diperuntukkan bagi manusia untuk menunjang kehidupannya, dan bukan untuk
dirusak. Dengan kata lain pemanfaatan alam termasuk hewan dan manusia adalah
pemanfaatan yang berkelanjutan.
6.
Halal dan haram
Keberlanjutan peran dan fungsi alam serta harmoni kehidupan
di alam ini (khususnya bumi sebagai planet yang dihuni manusia) oleh Islam
dijaga oleh dua instrumen yang berperan sebagai rambu bagi manusia, yakni halal
dan haram. Halal bermakna segala sesuatu yang baik, berakibat baik,
menguntungkan, dan menenteramkan hati. Segala sesuatu yang menguntungkan atau
berakibat baik bagi seseorang, masyarakat dan lingkungan alamnya serta
lingkungan sosialnya adalah halal. Sebaliknya segala sesuatu yang jelek,
membahayakan atau merusak seseorang,
masyarakat dan lingkungan alam dan sosialnya adalah haram. Segala yang
membahayakan dan merusak fisik (tubuh) dan jiwa (rohani) manusia, serta alam
lingkungannya adalah haram.
Konsep halal dan haram ini sebenarnya tidak hanya
diberlakukan bagi manusia, akan tetapi juga berlaku bagi alam. Pelanggaran
terhadap rambu-rambu ini akan mengakibatkan terjadi ketidak seimbangan atau
disharmoni baik dalam kehidupan manusia maupun gangguan keseimbangan ekologis
di alam.
Muhammadiyah
dan Gerakan Lingkungan
Upaya penyelamatan lingkungan tidak bisa hanya dilakukan
melalui kegiatan teknis-akademis. Persoalan lingkungan merupakan hak asasi
manusia, sehingga pendekatan yang harus dikembangkan dalam penyelesaiannya pun
harus berdasar berbagai multi aspek, termasuk pendekatan pendidikan dan
keagamaan. Muhammadiyah memandang diperlukannya langkah terpadu berbasis
masyarakat untuk melakukan aksi bersama (interfaith action) antar
berbagai komponen masyarakat, terutama komunitas beragama, sehingga terjadi
sinergi antara kelompok masyarakat, pemerintah, dan kelompok bisnis.
Bagi Muhammadiyah,
keterlibatan diri dalam gerakan penyelamatan lingkungan merupakan hal niscaya
yang harus terus digerakkan. Hal ini sebagai wujud tanggung jawab selaku
khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30), gerakan dakwah amar ma’ruf nahi
munkar, dan bagian dari upaya memakmurkan bumi dan alam semesta (Q.S. Hud: 61).
Sejak tahun 2003, Muhammadiyah telah menjadikan program
lingkungan sebagai bagian tidak terpisahkan dari program organisasi. Pada tahun
ini Muhammadiyah membentuk Lembaga Studi dan Pemberdayaan Lingkungan Hidup.
Keberadaan lembaga ini difokuskan pada upaya mengidentifikasi dan membangun
pijakn dasar mengenai corak dan pilihan kegiatan gerakan lingkungan yang akan
dibangun oleh Muhammadiyah.
Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang PP Muhammadiyah
membentuk Lembaga Lingkungan Hidup (LLH). Periode berhasil dirumuskan beberapa
hal elementer terkait pilihan gerakan lingkungan yang dilakukan oleh
Muhammadiyah, yaitu terkait konsep Teologi Lingkungan dan Pendidikan
Lingkungan. Pilihan ini didasarkan pada pemikiran bahwa perubahan mindset
dan perilaku manusia terhadap alam dan lingkungan merupakan hal mendasar yang
harus dilakukan agar proses gerakan dan budaya ramah lingkungan dalam kehidupan
masyarakat dapat terwujud. Selain itu, periode ini berhasil melakukan
komunikasi lembaga dengan berbagai komponen penggerak lingkungan, baik nasional
maupun internasional.
Kemudian pasca Muktamar Muhammadiyah ke-46 (1 Abad) PP
Muhammadiyah mengembangkan Lembaga Lingkungan Hidup (LLH) menjadi Majelis
Lingkungan Hidup (MLH). Perubahan ini memiliki tanggung jawab agar Majelis
dapat mempercepat transformasi gerakan lingkungan di dalam tubuh Muhammadiyah.
Gerakan lingkungan Muhammadiyah bukanlah sebatas mengikuti trend global, tetapi
harus menjadi trendsetter sesuai prinsip gerakan Muhammadiyah yang
mengembangkan Islam yang berkemajuan.
Dakwah dalam bidang lingkungan sesungguhnya bagian dari
pengembangan dari pemahaman Muhammadiyah terhadap Teologi Al-Ma’un. Kepedulian
dan pengejawantahan nilai-nilai Islam Muhammadiyah saat ini tidak terbatas pada
sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk lain dan lingkungannya (alam
semesta). Keterpanggilan Muhammadiyah terhadap gerakan lingkungan juga
merupakan panggilan tauhid yang menjadi elan vital gerakan Muhammadiyah.
Gerakan lingkungan Muhammadiyah tidaklah sebatas pada
kegiatan teknis penyelamatan lingkungan atau ekonomi, tetapi jauh dari itu
adalah bagaimana merubah cara berfikir dan alam fikir masyarakat terhadap
lingkungannya. Gerakan lingkungan Muhammadiyah harus didasarkan pada kesadaran
penghambaan diri kepada Allah (ibadah) dan pemenuhan tugas dan fungsi
sebagai khalifah Allah SWT. Karena bagaimana pun Muhammadiyah ingin mengajak
umatnya untuk beragama secara cerdas dan jauh dari kejumudan.
Penutup
Agama tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Kegiatan
penyelamatan lingkungan merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran agama.
Penyelamatan lingkungan merupakan bagian dari kegiatan penghambaan diri (ibadah)
dan pemenuhan tugas sebagai khalifatullah fil ardl. Setiap manusia harus
aktif dalam kegiatan penyelamatan lingkungan sebagai bagian dari keterpanggilan
dakwah dan penegakan nilai-nilai ajaran Islam. Wallahu A’lam. Sejuk
Bumiku – Nyaman Hidupku – Aman dan Tentram Masa Depan Anak Cucuku.
Yogyakarta, 8 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar